Junaidi Gafar: Sesat ke Mana-Mana 

  • Senin, 22 Juni 2020 - 21:14 WIB

Oleh: Junaidi Gafar, Pengamat Sosial Politik

KLIKMX.COM -- Saat ini Indonesia menjadi negara  dengan korban terinfeksi Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara. Bermula dari tiga orang  sampai menjadi lebih dari 46.000 orang lebih dalam waktu tiga bulan. Dan saat ini, angka rata-rata pertambahan korban terinfeksi berada di kisaran 900 orang  sampai dengan 1.300 orang  per hari. Jika negara-negara lain sudah menunjukkan penurunan korban yang signifikan, hal sebaliknya terjadi di sini. Angka terus naik dan menimbulkan kecemasan. 

Presiden dua bulan lalu  mengatakan bahwa akhir Mei 2020 kurva yang menggambarkan jumlah orang yang terinfeksi harus turun. Apa mau dikata, hal itu gagal terwujud. Kita tidak tahu apakah setelah ini Presiden akan mengatakan bulan Agustus harus turun, bulan September harus turun, Oktober, November...  sampai benar-benar turun meskipun entah kapan.

HONDA 2025

Lembaga Riset LSI lewat pentolannya Deny JA juga merilis hasil kajian mereka yang menyatakan bahwa korban Covid akan turun dan mereda di bulan Juni. Hasilnya nol besar. Kalau sudah begini kita jadi sulit membedakan hasil riset dengan komat-kamit dukun palsu. Hasilnya sama, amsiong. Apa boleh buat, tahi kambing bulat-bulat, di negeri ini hal semacam itu lumrah kita dapat. 
 
Tapi baiklah, ini kenyataan dan mari kita hadapi.


Para ahli manajemen tahu betul bahwa  cara memimpin yang  baik itu nggak pakai pokoknya-pokoknya, tapi harus  pakai hitungan yang benar, rencana yang benar dan eksekusi yang benar. Kadang kita harus melewati jalan panjang untuk sampai di akhir, tapi selama kalkulasinya benar,  direncanakan dengan benar lalu dieksekusi dengan sungguh-sungguh pasti akan sampai di titik yang dituju. Tapi kalau modalnya cuma omongan, jangankan sampai di tujuan, yang ada adalah kita sesat kemana-mana.

Oleh karena itu, mari kita diam sejenak dan kemudian  berpikir dengan logika paling dasar yang pasti kita semua miliki.  Nggak perlu pakai mesti kuliah tinggi-tinggi dulu. Apa mungkin korban wabah turun kalau ruang untuk potensi penularannya dibuka dengan pengawasan yang lemah?  Lihat saja, karena tidak ada sanksi yang jelas dan tegas dan tidak ada sosialisasi yang baik, orang-orang berlalu lalang, berbincang dan bertransaksi di banyak tempat tanpa menggunakan masker. Di sebuah mini market di luar komplek perumahan saya pegawainya dengan santai bekerja tanpa masker, pengunjung dengan membawa anak-anak ketawa-ketiwi dan itu mengerikan sekali. Itu hanya satu contoh yang pastinya juga terjadi di banyak tempat lainnya.

Mengapa mereka menganggap enteng protokol pencegahan penularan Covid-19 ini? Ada dua kemungkinan, pertama  karena tidak ada sosialisasi dan sanksi   yang tegas dan yang  kedua mereka tidak tahu bahwa memakai masker dengan disiplin dan mencuci tangan dengan sabun itu adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar agar wabah ini berhenti.


Efektivitas sebuah kebijakan salah satunya sangat ditentukan oleh  bagaimana para pembuat kebijakan mengetahui  hal-hal yang bisa menggagalkan kebijakan  tersebut sehingga mereka bersiap dengan langkah antisipasi yang tepat. Dalam kasus kedisiplinan warga harusnya protokol pencegahan penyebaran  virus itu menjadi kebijakan resmi pemerintah yang diturunkan kepada seluruh aparat, baik di pusat maupun di daerah. Pemerintah daerah mengawal dengan ketat implementasi kebijakan termasuk dengan rutin memeriksa tempat-tempat di mana interaksi terjadi. Minimarket-minimarket,  warung-warung dan pasar-pasar bahkan tempat ibadah yang telah dibuka kalau perlu ditutup kembali kalau mengabaikan protokol yang berlaku.

Hal kedua adalah soal fokus pada masalah. Saya mengikuti halaman facebook Justin Tradeu, Perdana Menteri Kanada. Negara dengan korban terinfeksi cukup tinggi. Hampir setiap hari ia memberikan update langsung langkah-langkah konkret yang dilakukan pemerintahannya untuk memberikan  perlindungan maksimal pada seluruh warga yang terdampak wabah ini. Terlihat lelah,  tapi semburat optimisme selalu muncul di wajahnya yang tampan dan itu memberi rasa tenteram pada rakyatnya. Rasa tenteram itu pula yang menyatukan mereka untuk bersama-sama berjuang melawan penularan wabah ini. Fokus yang jelas akan menentukan efektivitas hasil yang hendak dicapai. Dalam hal ini, seyogyanya banyak pemimpin negara di dunia belajar pada cara yang dilakukan oleh Justin untuk memberi rasa aman dan semangat pada rakyatnya.

Bagaimana dengan kita?

Lihat anggota DPR kita, di tengah wabah bukannya turun ke dapil masing-masing untuk mengedukasi publik malah sempat-sempatnya membahas Undang-Undang yang tidak jelas manfaatnya. Mulai dari Omnibus law sampai pada soal mengutak-atik Pancasila. Pemerintah yang sama gugup dan kacaunya pun kurang lebih sama. Mungkin hanya di negeri ini tarif listrik meledak naik ketika orang kesulitan bahkan untuk sekedar makan. Tarif BPJS naik di saat orang-orang menjerit menahan rasa sakit akibat kurang makan, kehilangan pekerjaan dan harus mengencangkan ikat pinggang agar masih bisa melihat matahari esok pagi. Memilukan! 

Kita tidak pernah tahu kapan semua ini akan berakhir. Atau mungkin tidak akan pernah berakhir sama sekali, sehingga satu persatu kita harus pergi dan meninggalkan dunia fana ini. Dan tinggallah mereka yang dianugerahi imunitas yang tinggi untuk melanjutkan tugas kekhalifahan di bumi. Semoga saja Tuhan Yang Maha Kuasa memberi kita waktu untuk.  bertahan sembari berikhtiar sebaik mungkin dengan segala yang masih tersisa. (*)



Baca Juga